“Astaghfirullah…
astaghfirullah..!
Tidak..tidak…! Muslimah
berjilbab tidak
sepantasnya berbuat
seperti itu.
Astaghfirullah…
astaghfirullah..,” ucapku
lirih pasca melihat hal
yang tak seharusnya
kulihat. Segera ku
beranjak, berlari dari
kelas tersebut.
***
Tersadar. Tersadar bila
ingat peristiwa itu. Aku
tersadar kalau aku
sebenarnya jauh dari
Tuhanku. Buktinya aku
telah melupakan
perintah Tuhanku Yang
Maha Pengasih dan
Penyayang terhadap
hamba-Nya. Aku lupa
perintah berjilbab wajib
untuk muslimah. Entah
lupa atau belum tersadar
atau pingsan atau
sengaja mengingkari
perintah tersebut, kini
aku menyesal.
Mengusik. Peristiwa itu
sangat mengusik. Aku
bertekad ingin menjadi
muslimah yang taat akan
perintah Allah SWT dan
menjauhi larangan-Nya
termasuk menjauhi
akhlaq yang tidak baik.
Aku tak ingin jilbabku
mencoreng wajah
muslimah lainnya seperti
halnya saat peristiwa itu.
Aku melihat seorang
teman yang berjilbab
sedang berpacaran dan
melakukan hal-hal yang
tidak senonoh di kelas
ketika jam istirahat.
Astaghfirullah. Istighfar
terus menerus terangkai
dalam hati dan lisanku
mengingat kejadian itu.
Na’udzubillahimindzalik.
Suatu malam aku hendak
meneguhkan hatiku. Hati
yang selalu menggebu
untuk menutup auratku.
Ku beranikan diri
menyatakan keinginanku
berjilbab kepada ibu
tercintaku.
“Bu.. Zahra minta izin
untuk berjilbab. Boleh?”
tanya Zahra sambil
merajuk manja pada
ibunya.
“Berjilbab? Serius?”
Tanya ibu sembari
mengernyitkan dahinya.
“Iya. Serius,” jawabku
penuh keyakinan 100%.
“Tapi ibu ndak punya
uang untuk mbeliin kamu
seragam baru, jilbab
baru, baju panjang baru
Nduk. Trus gimana kamu
mau berjilbab?” tanya
ibu.
“Kalau ibu sudah
mengizinkan, insya Allah
ada jalan keluar.
Kakaknya Septi yang
berjilbab itu kan sudah
lulus Bu. Nanti Zahra
mau minta seragam
bekasnya. Lagian
kakaknya Septi kan tinggi
Bu kayak aku. Trus
Septinya kecil jadi
kemungkinan bajunya
tidak dipakai Septi”
jawabku.
“Ya sudah. Alhamdulillah
ibu senang. Ibu doakan
semoga niat baikmu
mendapat kemudahan
Gusti Allah.”
“Aamiin..”
Zahra mulai menyusun
jadwal silaturahim ke
rumah Septi, sahabat
karib SMP yang sejak saat
itu ia satu-satunya siswa
yang berjilbab di sekolah.
Subhanallah.
Walhamdulillah. Zahra
jadi malu sendiri.
Kesadaran berjilbab baru
ia dapatkan ketika kelas
dua SMA. Tapi tak
apalah, syukur
alhamdulillah dapat
hidayah berjilbab.
Zahra kini lebih sering
membaca buku tentang
jilbab, kisah-kisah
inspiratif tentang jilbab
sampai siapa saja yang
boleh melihat kita ketika
tidak memakai jilbab. Dia
tak ingin berjilbab hanya
mengikuti trend, atau
ikut-ikutan. Bila niatnya
demikian pasti tak akan
bertahan lama. Niatnya
berjilbab karena ingin
memenuhi kewajibannya
sebagai seorang
muslimah. Semua harus
berdasarkan ilmu dan
kepahaman akan
berjilbab.
***
“Assalamu’alaikum…”,
salam dari Zahra sembari
mengetuk rumah Septi.
“Wa’alaikumsalam
warahmatullahi
wabarakatuh… Eehh,
Zahra… masuk yuk…”
jawab Septi.
“Hey… aku punya kabar
gembira loh…!
“Apa itu Ra?”
“Aku mau pake jilbab…”
jawabku sembari
tersenyum lebar, senyum
paling manis tanda aku
sangat berbahagia.
“Alhamdulillah akhirnya
sahabatku ini berjilbab
juga. Bisa bantu apa
nih..” tawar Septi.
“Tahu banget aku butuh
bantuan… hehe… Iya
nich, aku butuh seragam
bekas mbak Fika yang
baru lulus kemarin. Kamu
pake nggak?”
“Boleh banget… aku kan
udah punya seragam
sendiri jadi seragam
mbak Fika buat kamu
aja..”
“Alhamdulillah…
akhirnya…”
Aku senang sekali.
Bersyukur. Alhamdulillah
satu masalah sudah ada
jalan keluarnya. Kini aku
sudah mendapat dua rok
panjang, meski yang satu
tampak cingkrang kalau
dipakai. Tapi aku merasa
sangat bersyukur telah
mendapatkannya. Untuk
seragam atasan lengan
panjang sepertinya di
lemari ada. Baju putih
kakak yang tak lagi
berwarna putih cerah
kurasa masih bisa dan
layak dipakai. Paling
tidak itu menurut
kacamataku.
“Yaa Rabb..alhamdulillah
Kau tunjukkan jalan-Mu.
Bantulah aku menyusuri
indahnya perjalanan
menuju ridha-Mu.”